Perpustakaan, apa sih imej yang terlintas dibenak kita bila mendengar kata itu? Paling banter hanya sosok ruangan yang penuh buku, majalah dan kliping-kliping koran yang berdebu dengan aroma bau kapur barus yang khas. Di pojok meja depannya berdiri sosok pustakawan yang tua renta berkacamata tebal dan ”berambut botak” dengan sedikit uban-uban berwarna putih yang menunjukkan sudah begitu ”gaeknya” beliau.
Anti kebisingan dan benci kepada pemakai perpustakaan yang membawa makanan adalah ciri khasnya pula. Suara yang termerdu baginya adalah suara mesik ketik ”Spica” kuno yang berirama dalam membuat kartu katalog. Itulah gambaran umum perpustakaan yang ada di kepala masyarakat bukan?
Coba bandingkan dengan gambaran berikut ini. Perpustakaan yang di dalamnya terpasang berbagai sarana komputer dengan kemampuan alat yang super canggih. Ruangan koleksi perpustakaan segala tersedia, mulai dari bahan multimedia hingga yang konvensional, seperti; kaset video, kaset suara, VCD (video compact disk), DVD (Digital Video Disk), LD (Laser disk), Foto-foto (baik dalam bentuk meta data atau tercetak), kliping, disket dan CD (compact disk) juga tersedia electronic book.
Hebatnya lagi hampir semua data koleksi tersebut dapat ditelusuri dan dicari melalui gawai komputer yang tersedia di hampir seluruh ruang baca. Tidak seperti rancangan perpustakaan konvensional biasanya, ruangannya lebih kecil dan pengunjungnya juga terlihat sangat sedikit. Hal ini dikarenakan perpustakaan jenis ini menerapkan konsep perpustakaan maya (virtual library).
Bila pemakai hendak menggunakan koleksi tersebut, mereka tinggal mendownload dari situs perpustakaan atau website-nya saja karena terpasang di dunia world wide web. Bila pemakai ”enggan” mendownload karena biaya koneksi yang mahal, mereka bisa memesan untuk meminjam, bahkan mengemas ulang bahan dimaksud. Efektif dan efisien bukan? Apakah perpustakaan-perpustakaan di Indonesia memiliki sistem layanan seperti itu?
Bagaimana dengan perpustakaan nasional? Apakah sudah seperti ini? Selama pengamatan penulis hampir semua perpustakaan di Indonesia hanya menggunakan sistem pangkalan data sederhana yang itupun hanya memuat deskripsi bibliografinya saja, atau umumnya disebut katalog elektronik. Penggunaan katalog elektronik itu juga hanya khusus sebatas jaringan lokal (LAN) perpustakaan atau badan induknya.
Pergeseran Paradigma
Bayangkan kondisi saat ini dimana semua serba dikomersialisasikan, mulai dari barang, jasa hingga informasi. Pergeseran paradigma ini disinyalir akibat dari telah mendunianya politik ekonomi dunia yang kapitalistik. Kehadiran paham kapitalistik yang menjadi hegemoni dunia dengan cepat meresap ke setiap sektor kehidupan manusia. Hal inilah yang menyebabkan semua institusi harus mau tidak mau menerapkan konsep ini agar bisa tetap hidup. Antisipasi memompa kendala finasial institusi tersebutlah alasan utama mereka menerapkan sistem tersebut.
Sebenarnya sudah begitu banyak layanan yang diberikan perpustakaan, namun adakah konsep komersial atau basis bisnis untuk layanan-layanan tersebut? Mengapa hampir semua perpustakaan tidak menerapkan konsep ini dalam perpustakaan? Itulah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh semua kalangan kepustakawanan Indonesia saat ini. Tulisan ini tidak berupaya membuat suatu polemik atau perdebatan baru, namun lebih ditekankan pada upaya menginformasikan kepada masyarakat tentang ”kepelikan” konsep dan hambatan dunia kepustakawanan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki.
Dalam hal ini sebenarnya telah terjadi kesalahpahaman penerapan konsep bisnis di perpustakaan oleh pustakawan Indonesia. Kondisi ini disinyalir akibat dari imbas perdebatan panjang pemikiran dunia kepustakawanan di luar negeri, seperti Amerika dan Inggris selang beberapa waktu silam. Hampir semua pustakawan di Indonesia menolak sistem komersialisasi, bahkan mengharamkan dipraktekan di perpustakaan. Ini semua akibat pengaruh penerapan konsep teori pemikiran Urquhart atas masalah bisnis di perpustakaan.
Urquhart berpendapat, bahwa posisi pekerjaan yang berhubungan dengan informasi (tenaga pengelola informasi) sangat berbeda dengan para ekonom, hal ini merujuk dari cara pandang terhadap informasi. Menurut beliau hendaknya informasi itu dianggap bukan komoditi, sehingga dianggap perlu untuk memperlakukannya berbeda dengan layaknya benda (produk) ekonomi (1976:125).
Konsep teori inilah yang dipegang teguh dan ditelan mentah-mentah oleh pustakawan Indonesia saat itu, bahkan lambat laun mengakar membentuk paradigma tersendiri mereka terhadap layanan perpustakaan yang non komersial sampai saat ini. Meskipun di negara asalnya Amerika dan Inggris konsep teori tersebut sudah jelas-jelas ditinggalkan, karena dianggap ”usang”.
Berdasarkan paradigma teori tersebut, terciptalah tren bahwa pustakawan haram menyentuh aspek bisnis, dan harus menjadi tenaga non komersial yang sangat peduli dengan dunia paedadogi. Silahkan anda lihat kurikulum pendidikan pustakawan di Indonesia, adakah penerapan pendidikan pemasaran dan bisnis di dalamnya? Nihil.
Mudahnya saja, bila anda menanyakan tentang berapa keuntungan real perpustakaan dalam bentuk rupiah kepada pustakawan pasti dijawab tidak tahu, atau bahkan dengan ”sinis” dikatakan total merugi. Meski di lain sisi pustakawan akan ”berkelit” secara immaterial perpustakaan sangat menguntungkan bagi kehidupan badan induknya atau masyarakatnya itu ”isap jempol” belaka.
Mudahnya bila anda bertanya kepada seorang pustakawan saat merancang bangun suatu perpustakaan, bisakah mereka menghitung nilai keuntungan dalam bentuk real rupiah hasil dari pendirian institusi tersebut? Selain itu sanggupkah mereka membuat prediksi bisnis plan dan marketing kit perpustakaan? Penulis rasa, mereka tidak akan sanggup menjabarkan itu semua secara sistematik
Ketidakmampuan para pustakawan menjabarkan nilai jual dan sisi bisnis dari pendirian perpustakaan menyebabkan mereka ketakutan bahwa lahan mereka akan direbut oleh para pemain bisnis bidang lain.
Oleh sebab tak heran, ketika masuk para ahli teknologi informasi beberapa waktu yang lalu masuk ke lahan mereka ditanggapi dengan dingin dan antipati karena adanya prasangka perebutan lahan kerja mereka oleh ahli teknologi informasi tersebut.
Tak Beralasan
Ketakutan ini sebenarnya tak beralasan bila mereka memandang pada esensi paradigma bisnis terhadap informasi dunia yang telah mengglobal saat ini. Sudah saatnya pustakawan Indonesia meninggalkan pandangan teori konsep Urquhart tadi dan mulai menyentuh aspek bisnis dan kemajuan teknologi informasi dengan serius. Menurut David W. Levis dalam ”Bringing the Market to Libraries” (1986:73), yang pertama kali yang perlu dipikirkan dalam menerapkan komersialisasi di perpustakaan adalah memilah layanan perpustakaan mana yang akan dikomersialisasikan dan yang mana yang tidak?
Menurutnya layanan perpustakaan yang dapat dikomersilkan adalah; inter library loan (pinjam antar perpustakaan), penelusuran terpasang (on line), layanan referensi, bibliografi, salinan bahan (fotocopi), layan antar bahan koleksi dan jasa kesiagaan informasi. Namun sesuai perkembangan zaman dengan masuknya konsep perpustakaan maya (virtual library), maka terjadi pergeseran bahwa pada kenyataannya semua layanan itu dapat dikomersilkan. Mulai dari masalah menjadi anggota (member), pinjam buku, mendownload koleksi, layanan antar bahan koleksi, kemas ulang bahan koleksi, sampai pada surat elektronik (e-mail), chatting sampai forum bila tersedia.
Namun di sini ditekankan dalam menerapkan sistem perpustakaan yang komersial pihak pengelola perpustakaan perlu memperhatikan aspek-aspek penting, seperti; bentuk permintaan pemakai yang sering diminta, sistem keamanan informasi pribadi anggotanya, kecanggihan sistem automasi perpustakaan, hingga studi kelayakan kepuasan pemakai (lebih pada user studies). Hal-hal sederhana ini memang sebenarnya harus dianut oleh semua pemain bisnis di dunia internet.
Sejalan hal tersebut menurut cara pandang Philip Elliot manusia dalam menggunakan gawai elektronik (internet) untuk keperluan komunikasi sangat tergantung oleh 2 hal, yakni; masalah akses informasi dan dan arti komunikasi itu sendiri bagi mereka (1986:107). Sesuai dengan pendapat tersebut, berarti perpustakaan harus memiliki kemampuan teknis bagi pemakai untuk dapat mengakses informasi yang mereka miliki mereka dengan tinggi dan leluasa.
Dari sisi komunikasi, terlihat tidak semua pemakai atau netter perpustakaan maya menggunakan website perpustakaan untuk menelusur dan urusan koleksi semata-mata. Namun kadang mereka gunakan juga untuk berkomunikasi satu dengan lainnya dalam upaya menyelaraskan pengetahuan mereka yang telah ada. Menurut teori Shannon tentang komunikasi, bahwa manusia dalam berkomunikasi berusaha menghilangkan entropi atau melengkapi kekurangan-kekurangan pengetahuan yang dimilikinya (1999:48).
Oleh karenanya tingkah laku berkomunikasi dapat disamakan dengan proses pencarian informasi bagi para pemakai atau netter nantinya. Proses berkomunikasi para pemakai dapat melalui penyediaan email, forum online atau ruang diskusi dan chating bagi sesama pemakai atau netter (anggotanya sendiri).
Memang dalam mewujudkan bentuk perpustakaan bisnis yang seideal bentuk di atas pihak pengelola perpustakaan akan menghadapi benturan-benturan masalah klasik perpustakaan yang cukup pelik. Seperti masalah kelemahan SDM (Sumber Daya Manusia) pustakawan yang tidak handal menghadapi globalisasi, belum adanya regulasi dan program resmi dari pemerintah tentang masalah-masalah perpustakaan maya bagi dunia kepustakawanan di Indonesia, sehingga banyak pustakawan yang masih takut untuk terjun ke dalamnya.
Ketidakjelasan blue print bentuk perpustakaan maya yang ada saat ini di Indonesia cukup membuat esensi ketidakseriusan dunia kepustakawan Indonesia dalam mengembangkan sektor ini. Kita seharusnya berbangga hati, sesungguhnya sudah ada para pioneer yang berusaha mewujudkan hal itu, yakni IDLN (Indonesia Digital Library Networking) yang dibangun oleh intelektual kalangan civitas academica ITB (Institut Teknologi Bandung).
Namun sayang sekali, mengapa pihak-pihak yang berkompeten dan bertanggungjawab dalam menangani masalah ini, seperti; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Ikatan Pustakawan Indonesia hanya diam saja? Apakah memang dunia perpustakaan Indonesia disengaja berkondisi seperti saat ini, yang hanya selalu berjalan di tempat?
Penulis adalah pustakawan portal seni budaya.
16 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar