16 Maret 2009

Pustakawan, Profesi Masa Depan?

Harian New York Times mencatat tentang munculnya sebuah ‘varietas’ baru pustakawan/wati lewat artikel berjudul “A Hipper Crowd of Shushers“. Varietas baru pustakawan ini digambarkan lebih mirip orang-orang kreatif; sutradara film, desainer web, seniman, daripada imaji yang muncul tentang pustakawan selama ini. Membosankan, tua, galak, dst. Setidaknya varietas pustakawan itulah yang sering aku temui di masa-masa sekolahku, hehe.

Lewat artikel di atas, harian New York Times mencoba mencari tahu, kenapa sih kok muncul generasi pustakawan yang tampilan dan gayanya lebih hip dan cool daripada pendahulu-pendahulunya. Bukan sekedar tampilan baju atau rambut yang dicat pink, tapi generasi ini berisi orang-orang yang punya ketertarikan pada budaya pop, aktivisme dan teknologi.

Salah satu alasan ‘kemunculan’ mereka:
How did such a nerdy profession become cool — aside from the fact that a certain amount of nerdiness is now cool? Many young librarians and library professors said that the work is no longer just about books but also about organizing and connecting people with information, including music and movies. And though many librarians say that they, like nurses or priests, are called to the profession, they also say the job is stable, intellectually stimulating and can have reasonable hours — perfect for creative types who want to pursue their passions outside of work and don’t want to finance their pursuits by waiting tables. 

Hmmm…artikel ini benar-benar membuat profesi pustakawan terdengar sangat cool. Aku memikirkan berganti pekerjaan deh.

Oke, oke, mungkin ada yang menanggapi, ini kan di Amerika, di Indonesia profesi pustakawan ya masih begitu-begitu saja, dst, dst. Ah, aku rasa enggak juga ya. Library@Senayan contohnya, perpustakaan hibah British Council yang sekarang di gedung Depdiknas itu. Wien Muldian, pustakawannya, aku rasa bisa dimasukkan dalam kategori varietas baru pustakawan ini.

Mungkin gaya berpakaiannya belum se-hip para pustakawan di foto-fotonya New York Times itu, hehe, tapiii caranya dia menghidupkan Perpus Diknas dengan mengadakan berbagai acara di sana. Dengan menjadikan perpustakaan lebih dari sekedar sebuah bangunan atau ruang yang menampung buku tapi juga dengan memberi ruh pada tempat itu, itu kan sama dengan mengorganisir dan menghubungkan orang dengan informasi, yang disebut di atas. Iya nggak?

Kalau nggak percaya, coba aja ke Perpus Diknas dan rasakan betapa ‘hidupnya’ tempat itu.

So, memilih jadi pustakawan untuk profesi masa depan, siapa takut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar