16 Maret 2009

PUSTAKAWAN MAYA: Didamba Atau Ditakuti (Suatu Ketakutan Akan hilangannya Suatu Profesi)

Coba perhatikan, pekerjaan Pak Wakino seorang staf perpustakaan institusi negeri di Jakarta. Pagi hari ia asyik memasang label buku hasil cetakan komputer yang masih ‘basah’, maklum tinta printernya (alat cetak komputer) hasil ‘suntikan’ dan harus ‘diangin-anginkan’ supaya kering. Meski begitu mata pak Wakino tak lepas dari ‘gerak-gerik’ pemakai dan sigap melayani kebutuhan mereka. Kerap beliau juga terlihat sesekali mengangkat telepon dan memberikan jawaban lugas dan padat tentang pertanyaan dari seberang telepon sana. Waktu ‘senggang‘nya diisi dengan memfiling kartu peminjam, ‘mencap’ stempel tanggal peminjaman, pengembalian dan menjajarkan kembali buku ke raknya dan juga segala ‘tetek bengek’ soal teknis sirkulasi peminjaman buku.

Kemudian tugas yang berat baginya adalah membuat nomor klasifikasi buku dan memasukkan data bibliografisnya ke dalam komputer yang itu pun harus sesuai standar baku internasional. Di siang hari terlihat beliau sering ‘wira-wiri’ melihat tongkat-tongkat korannya yang ada di meja tamu, apakah korannya terlepas, hilang atau rusak? Biasanya bila hari mulai senja terlihat beliau sedang ‘serius’ memotong-motong artikel koran dengan alat pemotong kertas tuanya untuk membuat kliping sesuai kategori subyeknya. Begitu kompleks pekerjaan Pak Wakino ini, maka tak heran bila ia berpredikat sebagai pustakawan profesional bagi para pemakainya. Keberadaannya dianggap mampu membantu dan memuaskan kebutuhan pemakai akan informasi. Kecermatan, ketelitian dan keseriusan dalam menangani permintaan patut diacungkan jempol. Bila dihitung secara kuantittas, maka layanan yang diberikannya yakni; Peminjaman buku, referensi, fotocopi, pencatatan data bibliografis, penelusuran data kliping, peminjaman koleksi khusus, seperti bahan audiovisual dan bahkan penelusuran internet.

Namun perhatikan di lain sisi zaman semakin berubah. ‘Keranjingan’ orang terhadap dunia cyber (maya) seperti virus yang merasuk ke dalam semua gerak peradaban hidup manusia, begitu juga dengan perpustakaan. Kehadiran internet dianggap sebagai solusi pemecahan hambatan jarak dan waktu hadir dengan kehandalan electronic mailnya (disingkat e-mail). Julukan Dewi fortuna bagi peradaban baru manusia terutama bagi yang ‘menghamba’ pada prinsip waktu adalah uang. Ditambah dengan kehandalan hadirnya teknologi html (hypertext machine languange) yang dapat menyimpan segala bahan koleksi baik tulisan, maupun gambar dalam dunia maya. Atas dasar analogi tersebutlah muncul konsep baru tentang perpustakaan elektronik (electronic library) atau perpustakaan maya (virtual library) yang berbasis website.

Sosok perpustakaan maya dengan berbagai kemampuan fleksibilitasnya merupakan suatu inovasi terbaru dengan beraneka kehandalan di sana sini. Kehandalan tersebut; Seperti koleksinya yang berbentuk metadata tidak menghabiskan tempat penyimpanan koleksi, user oriented (berorientasi pada pemakai) pemakai perpustakaan berkedudukan layaknya seorang raja. Sesuai atribut tersebut, jelaslah pemakai sangat dimanja dengan pelayanan yang sangat cepat, efektif dan efisien yang memungkinkan tidak perlu tatap muka bagi pustakawan dan pemakai untuk masalah pelayanan. Komunikasi antara dua pihak tersebut dapat melalui jalur komunikasi yang ada, seperti Email (electronic mail), SMS (Short Message Services) telepon genggam, telepon, bahkan faksimile. Dalam hal ini pemakai dengan leluasa dapat ‘berjalan-jalan tanpa lelah’ ke perpustakaan dalam dunia maya dan membuka-buka koleksi yang ada. Lebih hebat lagi mereka bisa mendapatkan langsung data-data yang diperlukan, hanya bermodal mouse komputer di rumah dan kode nomor kartu berlangganan pemakai (password member card).

Penerapan ini dimungkinkan dengan adanya dukungan koleksi metadata yang menjadi inti keberadaan perpustakaaan tersebut. Maka konsep dasar perpustakaan mudah diakses dimana saja, kapan saja dan apa saja menjadi nyata. Misi optimalisasi potensi perpustakaan oleh pemakai yang didambakan oleh dunia kepustakawanan lebih terejawantah. Penanaman budaya baca semakin mudah terwujud melalui terlebih dahulu ‘penanaman rasa cinta pada perpustakaan’ melalui perpustakaan model ini. Layanan perpustakaan yang datang ke rumah-rumah dan ‘mengetuk pintu’ mereka lewat jaringan internet lebih lanjut dapat menciptakan ‘rasa ikut memiliki pemakai’ (baca masyarakat) dan ‘perlu’ terhadap perpustakaan itu sendiri. Dalam lingkup pemakainya juga berarti layanan perpustakaan tak terbatas ini dapat dinikmati oleh semua masyarakat bukan hanya Indonesia, bahkan dunia internasional yang merupakan masyarakat maya. Benturan masalah keterbatasan geografis, politik dan hukum dapat diterobos dengan mudah. 

Kehadiran perpustakaan maya yang datang ke rumah-rumah tersebut merupakan suatu terobosan besar dalam dunia kepustakawanan. Pemakai makin dimanja dan tidak perlu mengeluarkan ‘kocek’ yang besar untuk datang dan pinjam koleksi ke perpustakaan, berarti di sini penghematan bagi pemakai. Namun dari ‘hingar bingar’ konsep perpustakaan maya tersebut, terlupakanlah sosok pak Wakino tadi sebagai pemberi pelayanan perpustakaan, bagaimana dengan keberadaannya di era perpustakaan maya (elektronik) serba web site, apakah tetap akan diperlukan? Pertanyaan ini sebenarnya mudah saja dijawab, namun pada kenyataannya pertanyaan inilah awal dari ‘terpuruk’ penerapan konsep perpustakaan maya (elektronik) yang dianggap sangat inovatif di Indonesia.

Bayangkan berapa pustakawan yang akan menganggur dengan adanya gawai baru yang mampu memberikan segala layanan berbasis internet tersebut? Begitulah pertanyaan yang ‘terngiang ‘ di telinga setiap pimpinan (pengambil keputusan) di perpustakaan. Selain faktor ketakutan dan gagap teknologi di lingkungan kepustakawanan sendiri. Ketakutan-ketakutan inilah yang akhirnya seorang pimpinan (pengambil keputusan) perpustakaan ‘enggan’ dan ‘menutup’ mata terhadap pengembangan perpustakaan menuju basis elektronik.

Alhasil mereka ‘hanyut’ dalam rutinitas kerja mereka sehari-hari. Maka tak ayallah, terulang kembali sejarah profesi pustakawan ‘dilecehkan’ dan ‘dilupakan’ oleh pemakainya seperti di zaman Romawi dahulu. ‘Cap’ pustakawan sebagai ‘budak’ kembali tertancap ‘dijidat’ ‘embel-embel’ profesi mereka, sayang sekali. Imej pustakawan yang gagap teknologi dan takut perubahan membuat mereka semakin terjerumus ke dalam jurang kemerosotan moral sebagai para profesional di bidangnya. Maka dapat dikatakan perjalanan perjuangan profesi pustakawan untuk mensejajarkan dengan profesi lain semakin tidak ‘kentara’ dan terasa berjalan ‘pincang’. Apakah keadaan ini yang memang diharapkan?

Sebenarnya kalau mau jujur ‘ekses’ penerapan konsep perpustakaan maya tidak seburuk seperti yang dipaparkan di atas. Eksistensi perpustakaan maya pengguna gawai yang dianggap mampu ‘menebas’ pekerjaan pustakawan yang tidak prinsipil (clerical). Pada kenyataannya tak sepenuhnya mengubah keberadaan sosok pustakawan semacam wakino-wakino tersebut, malahan sebaliknya. Se-elektronik apa pun suatu sistem tetap diperlukan penerapan yang konvensional, begitu dalil teori penerapannya. Mudahnya saja dalam segi layanan perpustakaan maya, tetap diperlukan pustakawan untuk keperluan pengiriman koleksi bahan melalui paket titipan. Selain itu pemasukkan data bibliografis (data entri pangkalan data), proses scanning (merawak) dokumen atau koleksi dan pembuatan kliping elektronik, dan pengembangan-pengembangan lain, kesemua itu merupakan tugas pustakawan.

Maka jelaslah bukan berarti pekerjaan pustakawan hilang begitu saja dengan penerapan sistem perpustakaan elektronik tadi. Malahan dapat dikatakan memberikan suatu pekerjaan rumah (baca PR ) bagi pustakawan seperti ‘Wakino’ tadi. Di sinilah letak tantangan profesi pustakawan untuk mengembangkan profesi dan kredibilitasnya kepada masyarakat. Melalui perwujudan profesionalitas lewat penerapan perpustakaan maya ini lambat laun akan membawa pustakawan ke ‘bangku’ penyetaraan profesi yang sejajar antara profesi lainnya. Di lain sisi bukan berarti pustakawan menjadi ‘programmer’ atau ahli teknologi informasi, namun hanya sebatas mengerti dan tahu saja terhadap bidang teknologi informasi itu saja sudah cukup.

Berdasarkan pemaparan peristiwa kronologis di atas jelas, bahwa penerapan sistem perpustakaan terelektronis dapat dijadikan ‘sebuah tiket’ bagi perkembangan dunia kepustakawanan Indonesia selanjutnya. Maka dapat dipastikan bahwa melalui program tersebut pustakawan dapat merealisasikan kemampuan dan profesionalitas jati diri mereka terhadap profesi. Pelayanan perpustakaan maya yang serba cepat, tepat dan dinamis dengan kedudukan pustakawannya yang ‘lincah’ dan high tech vision merupakan suatu profesi dambaan. Namun di sisi lain masalah yang tak kalah pentingnya adalah pembekalan ilmu bagi pustakawan Indonesia yang masih sangat minim. Sedikit sekali pustakawan Indonesia yang mengenal komputer dan dunia internet. Hal tersebut ditunjang dari pola pemberian kurikulum lembaga pendidikan Jurusan Ilmu Perpustakaan di Indonesia yang ‘nir’ penanaman orientasi dunia internet. Lalu dimanakah letak IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia)? Ataukah memang dunia kepustakawanan Indonesia dirancang untuk tidak ingin maju?(AP/IP/2-6-2001) (TERDAPAT JUGA DI WEBSITE ICS)

*Penulis adalah seorang Pustakawan di Jakarta 

Bibliografi: 

Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta:Gramedia, 1992. 

Putu Pendit. Komponen Kurikulum Teknologi Informasi Untuk Sekolah Perpustakaan: Sebuah pemikiran awal. Makalah pada Pertemuan Informal Pustakawan Ke-4 di British Council, 28 April 2001. 

Putu Pendit. Kurikulum Yang Tepat…Untuk Siapa?..Untuk Apa? Makalah pada Pertemuan Informal Pustakawan Ke-4 di British Council, 28 April 2001. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar