Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo Selasa 18 Januari 2005. Yang diposting disini adalah versi belum diedit oleh Koran Tempo (sekitar 7000 karakter). Sedangkan versi yang sudah diedit dapat dibaca di: milis pasarbuku (http://groups.yahoo.com/group/pasarbuku/message/20447). Dan artikel dari Rosa Widyawan bisa dibaca di: http://groups.yahoo.com/group/pasarbuku/message/20290.
———————————————————-
Menarik sekali membaca artikel yang ditulis rekan Rosa Widyawan dalam kolom Periskop berjudul “Mesin Pencari: si dungu pemuas rasa ingin tahu”, di harian Koran Tempo edisi selasa 11 Januari 2005 lalu. Sebagai praktisi pekerja informasi, saya terdorong untuk ikut memberikan sedikit masukan untuk melengkapi tulisan tersebut.
Pertama, mengenai pernyataan bahwa “Para pustakawan belakangan risau atas kelangsungan profesi karena penggunaan internet”. Sebenarnya, tanpa ada serbuan internet pun, banyak perpustakaan yang sudah seharusnya “gulung tikar” ditinggal sepi para pemakainya. Sebabnya sederhana, perpustakaan tersebut tidak cukup adaptif menjawab perubahan kebutuhan pemakainya. Ibarat perusahaan komersial, perpustakaan gagal mengeluarkan produk dan layanan yang dibutuhkan oleh customer-nya.
Sebaliknya di beberapa perpustakaan lain, seperti perpustakaan Depdiknas (dulu perpustakaan The British Council/BC), serbuan internet justru membawa berkah. Kunjungan pemakai dan anggota yang mendaftar serta memanfaatkan fasilitas perpustakaan lebih banyak dan konstan dibanding sewaktu masih dibawah manajemen BC. Anggota perpustakaan yang menggunakan fasilitas akses internet terlihat mahir berinternet (web). Kesimpulan sementara adalah: akrab dengan internet justru membuat banyak orang menjadi paham bahwa tidak semua informasi bisa diperoleh di internet. Mereka jadi lebih mudah akrab dengan Perpustakaan.
Selain itu pengelola perpustakaan Depdiknas juga melakukan promosi dan “menjual” produk serta layanan seperti layaknya perusahaan komersial. Ada product positioning, pricing strategy, marketing dan lain-lain. Koleksinya pun, bukan buku-buku sekolah atau buku kuliah, tetapi buku-buku yang merangsang orang untuk berpikir kritis dan memberikan wawasan baru. Koleksi-koleksi tersebut tidak akan didapat dengan browsing di Internet.
Memang betul ada pustakawan yang merasa terancam dengan makin maraknya implementasi Teknologi Informasi di perpustakaan. Tapi lebih dikarenakan kemalasan mereka dalam mempelajari perkembangan teknologi yang ada. TI itu sendiri sebenarnya memberikan peluang yang lebih besar bagi pustakawan untuk mengembangkan produk dan layanan perpustakaan yang lebih baik dan beragam. TI memudahkan penerapan manajemen informasi dan pengetahuan di perpustakaan.
Kedua, mengenai “perbandingan Web dengan Perpustakaan”. Penulis pikir, tidak seimbang membanding web dengan Perpustakaan. Web adalah sebuah media sedangkan perpustakaan merupakan learning environment–dimana para pengunjung selalu didorong untuk terus belajar dan berbagi pengetahuan yang dimiliki.
Dahulu ketika perkembangan TI sudah sedemikian pesat, para futuristik berlomba membuat ramalan-ramalan. Ada yang meramalkan bahwa konsumsi kertas diperkantoran akan semakin sedikit (paperless). Ada juga sosiolog yang meramalkan hubungan antar manusia akan semakin renggang karena makin tingginya interaksi antara manusia dengan komputer. Tapi fakta yang kemudian terjadi, World Wide Web ternyata masih belum menggantikan media cetak, apalagi Perpustakaan. Penggunaan kertas justru makin meningkat karena sebagian besar orang mem-print dulu artikel yang hendak dibaca. Industri majalah bahkan semakin subur. Dunia dijital ternyata juga belum mampu membuat manusia menjadi mesin-mesin mekanis dan terisolasi dalam dunia mesin. Yang terjadi justru sebaliknya. Makin banyak terbentuk komunitas dengan interes yang sama dan saling berbagi pengetahuan dalam media-media elektronik seperti mailing list dan chat room.
Sebagai sebuah media, Web mempunyai karakter yang berbeda dengan media non-elektronik dan akan terus berkembang sesuai dengan karakternya. Salah satu kelebihan utama web adalah unsur interaktifitas. Itu sebabnya pemakaian akses internet di perpustakaan Depdiknas dan warnet yang penulis amati, mayoritas mengakses website yang mempunyai unsur interaktifitas tinggi, seperti webmail (Yahoo Mail dan Hotmail), friendster.com dan lowongan kerja (karir.com). Sebagai sebuah learning environment, perpustakaan menawarkan hal-hal yang tidak didapat dari Web, utamanya interaksi langsung antar manusia (human touch).
Ketiga mengenai argumen bahwa “SGML (Standard Generalized Markup Language) merupakan salah satu penyebab gagalnya temu kembali informasi di Web”. Penulis melihat ada kesalahpahaman disini mengenai pemahaman SGML dan HTML. SGML merupakan protokol untuk membuat markup language, jadi bukan merupakan markup language itu sendiri. Sebuah markup language yang dibuat menggunakan SGML, disebut aplikasi SGML. Sedangkan HTML merupakan sebuah aplikasi SGML.
Ketika pertama digagas, SGML didesain untuk skala besar, dan tentu pada akhirnya lebih rumit untuk dipelajari dan digunakan. Sewaktu Tim Berners-Lee merancang HTML, dengan alasan kesederhanaan, dia membuang sebagian kemampuan SGML (untuk membuat dokumen terstruktur) dan mendesain HTML lebih berorientasi bagaimana dokumen ditampilkan (presentation-oriented). Karena itu tidak tepat kalau menyalahkan kekurangan HTML sebagai akibat kekurangan SGML.
Berners-Lee sendiri juga menyadari kelemahan HTML, dan kemudian melalui World Wide Web Consortium merancang “SGML” yang didesain untuk web, muncullah XML (Extensible Markup Language). Sama seperti SGML, XML bukan merupakan markup language tetapi seperangkat protokol untuk membuat markup language. XML muncul tidak untuk menggantikan HTML, tetapi menyempurnakannya.
Keempat, mengenai gagalnya metadata seperti Dublin Core dalam temu kembali informasi di Web. Dublin Core bukan merupakan bahasa format, tapi kesepakatan bersama inisiatif pengelola informasi untuk mendefinisikan informasi apa saja yang bisa dianggap representasi dokumen elektronik. Dublin Core bisa diimplementasikan dengan MARC (Machine Readable Catalog), XML atau HTML lewat meta tag-nya. Memang untuk memaksimalkan standar semacam Dublin Core, mesin pencari harus punya pengetahuan tentang definisi dokumen, tapi sebagian definisi dokumen seperti “keywords”, sudah didukung sejak lama oleh mesin pencari.
Pada akhirnya, mesin pencari seperti google pun punya keterbatasan. Sehebat apapun algoritma pengindeksan dan pencarian informasi sebuah mesin pencari, kemampuannya terbatas dalam menelusuri jumlah informasi yang sangat banyak. Dalam teori Information Retrieval, semakin tinggi recall (hasil pencarian), semakin rendah precision-nya (ketepatan pencarian).
Contoh solusi yang ditawarkan Google adalah dengan membuat penelusuran dalam lingkup domain yang lebih spesifik misalnya: Linux, BSD, Universitas, dan lain-lain (http://www.google.com/options/specialsearches.html). Kesimpulannya, dalam skala tertentu, intervensi manusia masih diperlukan dalam pengindeksan dan pencarian informasi. Karena itu perpaduan antara mesin dan manual oleh manusia tetap diperlukan, terutama bila jumlah informasinya sangat besar.
Yang perlu diperhatikan, eksistensi perpustakaan tidak akan hilang oleh sebuah teknologi bernama internet, apalagi oleh sebuah mesin pencari. Terlalu naif. Yang betul adalah, internet justru memberikan perpustakaan tenaga baru untuk layanan yang lebih efektif dan efisien. Sebuah mesin pencari, hanya mengindeks informasi yang tersedia di internet, padahal ada banyak informasi yang tersedia dalam berbagai format dan tidak bisa didapat di Internet. Betul sekarang makin banyak e-books, tetapi lebih banyak lagi buku yang dicetak. Mesin pencari dan perpustakaan mempunyai positioning yang berbeda. Mereka saling melengkapi dan memanfaatkan.
Saat ini, sudah bukan zamannya lagi seorang pustakawan hanya menjadi seorang intermediari informasi. Kalau hanya itu, niscaya bisa terdesak dengan makin menjamurnya mesin pencari dan katalog online. Pustakawan sekarang juga harus punya karakter kepemimpinan, mampu berkomunikasi efektif, mampu memotivasi orang lain, mampu mengatasi konflik, cerdas dan fokus. Hal-hal ini tidak mungkin digantikan oleh mesin. Mesin pencari tidak dungu, ia memang punya keterbatasan. Pustakawanlah yang bisa disebut dungu bila tidak mau berubah dan memperluas wawasannya dengan segala perkembangan teknologi yang ada.
17 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar